Sabtu, 05 November 2022

Analisis perilaku sosial terhadap istilah "lulus, keluar dan bubar" di industri hiburan


Grad, keluar, bubar. 3 hal ini adalah yang paling sering dihindari di kalangan penggemar industri media hiburan. 

Pada dasarnya 3 hal itu terjadi ketika adanya suatu permasalahan, ketidakcocokan atau mungkin ada tujuan lain sama halnya dengan apa yang kita lakukan di dunia nyata entah sebagai pekerja ataupun pelajar. Suatu keputusan yang mungkin sudah dipikirkan secara matang sebelumnya, ataukah mungkin sikap spontanitas? Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar. Tapi yang menarik disini yaitu adanya hubungan sosial antara penghibur (dalam konteks ini seniman) dan penggemar. Interaksi seperti saling merespon di media sosial atau bahkan sekedar mengikuti perkembangannya juga berpengaruh pada hubungan sosial ini, baik terjadinya komunikasi 2 arah secara langsung ataupun tidak. Sosok ini bisa setara seperti layaknya peran persahabatan. Bukan hanya berdampak pada penggemar, tapi juga berdampak pada sang idola itu sendiri.  Inilah mengapa ada situasi saat sang idola berinteraksi dengan penggemarnya, atau bahkan measa sedih ketika tidak bisa bertemu penggemarnya lagi karena eventnya telah usai.

Meskipun sang idola jarang merespon, sama halnya ketika ada teman yang sudah jarang berinteraksi dengan kita. Yang dipikirkan akan lebih cenderung orang itu baik saja. Terkecuali jika memang sang idola itu pernah berbuat suatu kesalahan fatal, mungkin tingkatan "dianggap baik-baik saja" nya ini akan dikurangi. Mengenai berita-berita belakangan ini, sebelumnya saya tidak terlalu mempermasalahkan saat hanya menjadi pendengar pasif. Hingga pada akhirnya mulai menyukai, dan mengikuti sesuatu lebih dari sekedar mendengarkan karyanya, saya sendiri pernah mengalami ketika sang idola grad, skandal, grupnya bubar, ada yang ke ranah industri laknat, bahkan ada yang sudah tidak ada. Bagi orang lain yang tidak tahu menau mungkin ini masalah biasa, tapi bagi yang mengerti konteksnya itu merupakan mimpi terburuk yang pernah ada. Untuk saat ini hanya ada 1 oshi,  dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika suatu hal terjadi. Semoga saja tidak ada apa-apa.

Jadi kalau ada teman kita yang sedang sedih sebaiknya dihibur saja, atau minimal tidak mengganggunya. Apalagi psikologis setiap orang beda-beda. 3 hal ini juga yang tidak bisa dijadikan bahan candaan atau bahkan dijadikan bahan sanggahan oleh normalisasi kedewasaan tertentu. Kita tidak bisa menyamakan apa yang menurut kita dewasa, laki, berani dan lain sebagainya dengan yang dimiliki orang lain karena sudah ke ranah toxic. Setiap orang memang memiliki kebahagiaan, kesedihan, kekhawatiran, passion dan lainnya yang berbeda-beda. Audiophile bahagia ketika mendapat gear baru, khawatir ketika ada yang rusak. Begitu juga dengan kolektor SHF, miniatur dll. Fans klub olahraga bahagia ketika mendengar klub favoritnya mendapat berita bagus, dan kecewa ketika ada berita tidak bagus. Pekerja khawatir dengan UMR, pelajar khawatir dengan kebijakan yang tidak ia setujui. Begitu juga dengan yang lainnya, gamer, miner, cosplayer, guru, juru masak, desainer, produser dll. Kuncinya adalah saling menghargai. Adiksi diatas masih dapat ditoleransi selama masih batas wajar, atau tidak sampai melanggar norma-norma yang ada.


Baca juga :

Problematika antara istilah "kelulusan" dan "keluar" pada industri musik Jepang


Ilustrasi : Tokyo Ginza 銀座" Royalty Free Footage by TDB


Ke Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf jika ada iklan yang tidak relevan, itu semua diatur oleh Google dan diluar kendali saya.